Fikih Ringkas Seputar Profesi Broker atau Makelar
Definisi brokerage
Brokerage adalah melakukan mediasi antara penjual dan pembeli untuk melangsungkan akad jual-beli. Dalam bahasa Arab kegiatan ini disebut as-Samsarah (السَّمْسَرَة) dan merupakan perkara yang telah umum diketahui dan dipraktikkan manusia sejak dulu.
Konsekuensi dari akad brokerage adalah broker bertindak memberikan pengarahan dan melakukan mediasi bagi kedua belah pihak yang akan melangsungkan akad. Adapun melaksanakan transaksi yang diperantarai, semisal broker diserahkan tanggung jawab oleh penjual atau pembeli untuk melaksanakan akad, maka hal ini tidak termasuk aktivitas seorang broker. Namun, jika ia dipercaya oleh salah satu pihak untuk melangsungkan akad, maka tindakannya sah. Sehingga dalam kondisi tersebut, broker menyatukan dua peran, yaitu sebagai broker dan wakil.
Dalam bahasa Arab, broker disebut “السمسار” atau “الدَّلَّال” karena ia berperan memandu pembeli untuk menemukan barang dan memandu penjual dalam menentukan harga (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah 10/151).
Hukum brokerage
Kegiatan brokerage diperbolehkan. Demikian juga dengan mengambil komisi atas kegiatan tersebut. Ulama menegaskan akan hal ini:
– Imam Malik Rahimahullah tidak melarang komisi broker ketika ditanya akan hal itu (al-Mudawwanah 3/466).
– Dalam kitab Shahih-nya, imam al-Bukhari Rahimahullah menyatakan,
ولم ير ابن سيرين، وعطاء، وإبراهيم، والحسن بأجر السمسار بأسًا، وقال ابن عباس: “لا بأس أن يقول: بع هذا الثوب، فما زاد على كذا وكذا، فهو لك”، وقال ابن سيرين: “إذا قال: بعه بكذا، فما كان من ربح فهو لك، أو بيني وبينك، فلا بأس به”، وقال النبي صلى الله عليه وسلم: (المسلمون عند شروطهم)
“Ibnu Sirin, Atha, Ibrahim, al-Hasan tidak mempermasalahkan komisi broker. Ibnu Abbas menyatakan, ‘Tidak mengapa jika seorang mengucapkan pada orang lain, ‘Juallah baju ini. Apa yang melebihi dari harga sekian, maka itu untukmu.’ Ibnu Sirin mengatakan, ‘Tidak mengapa apabila seorang mengatakan, ‘Juallah barang ini dengan harga sekian. Keuntungan yang melebihi harga tersebut adalah untukmu atau kita rundingkan dahulu.’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Kaum muslimin terikat pada persyaratan yang ditetapkan bersama’” (Shahih al-Bukhari 3/92).
– Ibnu Qudamah menyatakan,
ويجوز أن يستأجر سمسارًا، يشتري له ثيابا، ورخص فيه ابن سيرين، وعطاء، والنخعي…
“Seorang boleh mengupah broker untuk membelikan baju. Ibnu Sirin, Atha, dan an-Nakhai memberikan toleransi terhadap hal tersebut” (al-Mughni 8/42).
– Dalam Fatwa al-Lajnah ad-Daimah dinyatakan,
يجوز للدلال “السمسار” أخذ أجرة بنسبة معلومة من الثمن الذي تستقر عليه السلعة مقابل الدلالة عليها، ويستحصلها من البائع أو المشتري، حسب الاتفاق، من غير إجحاف ولا ضرر
“Broker (as-Simsar) boleh memperoleh persentase tertentu dari harga penjualan sebagai kompensasi atas jasanya dalam menginformasikan komoditi yang menjadi objek transaksi. Komisi itu bisa diperoleh dari penjual atau pembeli sesuai kesepakatan yang tidak menimbulkan kerugian dan pelanggaran” (Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 13/131).
– Syaikh Abdurrahman al-Athram Hafizhahullah mengatakan,
الوساطة التجارية جائزةٌ مطلقًا، سواء قُدرت بالزمن، أو بالعمل، في اليسير والكثير … وهو أحد القولين عند الحنفية، والمشهور عند المالكية، والظاهر من مذهب الشافعية، وهو مذهب الحنابلة
“Brokerage boleh secara mutlak; baik dibatasi dengan suatu waktu atau suatu aktivitas, dan untuk barang yang sedikit maupun banyak… Hal ini merupakan salah satu pendapat Hanafiyah, pendapat Malikiyah yang masyhur, pendapat Syafiiyah yang terpilih dan merupakan pendapat Hanabilah” (al-Wasathah at-tijariyah fi al-Mu’amalat al-Maliyah hal. 71).
Syarat-Syarat brokerage
Syarat agar diperbolehkan, kegiatan brokerage harus dilakukan pada hal yang bersifat mubah (halal). Dengan demikian, brokerage tidak diperbolehkan dalam transaksi jual-beli minuman keras, jual-beli babi, jual-beli alat musik, transaksi ribawi, atau perkara-perkara yang haram ditransaksikan dan digunakan.
Apabila broker/makelar menjadi mediator dalam penjualan dan/atau pembelian sesuatu yang diharamkan, maka komisi/upah yang diperoleh pun haram karena berstatus sebagai kompensasi atas upayanya membantu kemungkaran. Allah Ta’ala berfirman,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya” (QS. al-Maidah: 2).
Akad brokerage (as-samsarah) merupakan akad syar’i yang wajib dipenuhi oleh salah satu pihak dengan menyerahkan komisi mengikat yang menjadi tanggungannya kepada pihak yang lain (broker). Kewajiban yang mengikat ini tidak termasuk sedekah ataupun hibah, tapi merupakan kewajiban yang mengikat orang yang menjanjikan komisi atas upaya mediasi yang dilakukan (https://islamqa.info/ar/answers/178393هل-يستحق- السمسار-عمولته-وما-يترتب-على-من-جحدها-عليه).
Baca Juga: Syarat dan Rukun Jual-Beli
Etika broker
Sepatutnya broker adalah seorang yang ahli dalam perkara yang menjadi obyek mediasi sehingga tidak merugikan salah satu pihak dengan mengklaim bahwa dirinya adalah seorang yang ahli, padahal tidak demikian.
Demikian juga, selayaknya ia adalah seorang yang jujur dan terpercaya. Tidak berpihak pada salah satu pihak dengan mengorbankan/merugikan pihak yang lain, tapi menjelaskan kelebihan dan kekurangan obyek mediasi; tidak mengelabui pembeli dan penjual (https://islamqa.info/ar/answers/45726/حكم-السمسرة).
Komisi broker
Berikut ini sejumlah hal yang terkait dengan komisi broker.
– Komisi yang diperoleh oleh broker adalah komisi yang diperoleh dari akad ju’alah. Namun, dalam beberapa bentuk dan kondisi, komisi broker bisa berupa upah yang diperoleh dari akad ijarah. Dalam hal komisi berasal dari akad ijarah, maka komisi tersebut harus spesifik, sehingga jika tidak ditentukan secara jelas (terdapat ketidakjelasan (jahalah)), maka transaksi yang dilakukan menjadi tidak sah (https://islamqa.info/ar/answers/174809/سمسار-ياخذ-عمولة-من-الجهتين-وبعض-احكام-الوسيط-التجاري).
– Broker boleh menerima komisi dari penjual atau pembeli, atau dari keduanya, sesuai kesepakatan dan aturan yang berlaku di masyarakat. Demikian yang menjadi pendapat Malikiyah (Hasyiyah ad-Dasuqi 3/129).
Dalam Fatawa al-Lajnah ad-Daimah dinyatakan,
إذا حصل اتفاق بين الدَّلال والبائع والمشتري على أن يأخذ من المشتري، أو من البائع، أو منهما معاً، سعياً معلوماً، جاز ذلك، ولا تحديد للسعي بنسبة معينة، بل ما حصل عليه الاتفاق والتراضي ممن يدفع السعي جاز. لكن ينبغي أن يكون في حدود ما جرت به العادة بين الناس، مما يحصل به نفع الدلال، في مقابل ما بذله من وساطة وجهد لإتمام البيع بين البائع والمشتري، ولا يكون فيه ضرر على البائع أو المشتري بزيادته فوق المعتاد
“Jika tercapai kesepakatan antara broker, penjual, dan pembeli bahwa broker menerima komisi dari pembeli atau penjual, atau dari keduanya, dengan besaran upah tertentu, maka hal itu diperbolehkan. Tak ada batasan untuk besaran upah dengan persentase tertentu. Berapa pun besarannya diperbolehkan, selama disepakati dan disetujui oleh pihak yang menyerahkan upah. Akan tetapi, diharapkan upah tersebut tetap berada dalam batasan yang berlaku di masyarakat, dengan besaran yang memberikan manfaat kepada broker sebagai kompensasi atas mediasi dan upaya yang telah dikerahkannya untuk menyukseskan transaksi antara penjual dan pembeli. Besaran upah bagi broker juga diharapkan tidak memberatkan penjual atau pembeli karena adanya tambahan yang melebihi kebiasaan” (Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 13/129).
– Apabila tidak ada kesepakatan dan tak ada aturan yang berlaku di masyarakat, maka komisi bagi broker ditanggung oleh penjual menurut Malikiyah (Hasyiyah ad-Dasuqi 3/129).
Namun, pendapat yang terpilih komisi broker ditanggung oleh orang yang memerintahkannya untuk bertindak sebagai mediator/perantara.
Dr. Abdurrahman ibn Shalih al-Athram Hafizhahullah mengatakan,
فإذا لم يكن شرط ولا عرف، فالظاهر أن يقال: إن الأجرة على من وسّطه منهما، فلو وسَّطه البائع في البيع كانت الأجرة عليه، ولو وسطه المشتري لزمته الأجرة، فإن وسطاه كانت بينهما
“Jika tidak ada kesepakatan atau aturan yang berlaku di masyarakat, pendapat yang lebih tepat, komisi makelar menjadi tanggungan orang yang memerintahkannya untuk bertindak sebagai mediator. Jika penjual yang memerintahkannya untuk bertindak sebagai mediator, maka komisi menjadi tanggungan penjual. Jika pembeli yang memerintahkannya, maka pembayaran komisi mengikatnya. Demikian juga, jika keduanya, penjual dan pembeli, menjadikannya sebagai mediator mereka, maka komisi berasal dari keduanya.” (al-Wasathah at-Tijariyah, hal. 382).
– Komisi broker/makelar bisa berupa sejumlah uang tertentu atau persentase tertentu .(https://islamqa.info/ar/answers/174809/سمسار-ياخذ-عمولة-من-الجهتين-وبعض-احكام-الوسيط-التجاري).
Dalam Fatawa al-Lajnah ad-Daimah dinyatakan,
يجوز للدلال “السمسار” أخذ أجرة بنسبة معلومة من الثمن الذي تستقر عليه السلعة مقابل الدلالة عليها، ويستحصلها من البائع أو المشتري، حسب الاتفاق، من غير إجحاف ولا ضرر
“Broker (as-Simsar) boleh memperoleh persentase tertentu dari harga penjualan sebagai kompensasi atas jasanya dalam menginformasikan komoditi yang menjadi objek transaksi” [Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 13/131].
– Apabila aktivitas mediasi ditentukan dalam waktu tertentu, maka broker/makelar berhak memperoleh komisi dengan semata-mata melakukan aktvititas mediasi yang diminta dalam waktu tersebut meski kesepakatan tidak tercapai (https://islamqa.info/ar/answers/174809/سمسار-ياخذ-عمولة-من-الجهتين-وبعض-احكام-الوسيط-التجاري).
– Apabila penjual berkata kepada broker, “Juallah barang ini dengan harga sekian, jika memperoleh lebih, maka kelebihan itu untukmu”, maka broker diperkenankan mengambil kelebihan tersebut, baik diketahui ataupun tidak diketahui oleh pembeli (https://islamqa.info/ar/answers/121386/اذا-قال-للسمسار-بع-هذا-بكذا-وما-زاد-فهو-لك).
Ibnu Qudamah Rahimahullah mengatakan,
إذا قال: بع هذا الثوب بعشرة، فما زاد عليها فهو لك صح، واستحق الزيادة، وقال الشافعي-رحمه الله-: لا يصح.ويدل على صحة هذا: أن ابن عباس -رضي الله عنه- كان لا يرى بذلك بأسًا، ولأنه يتصرف في ماله بإذنه، فصح شرط الربح له، كالمضارب والعامل في المساقاة
“Apabila pemilik barang berkata, ‘Juallah baju ini dengan harga 10 dirham. Jika laku lebih, maka kelebihannya untukmu’, maka transasksinya sah dan broker berhak mengambil kelebihan itu. Namun, asy-Syafi’i Rahimahullah menyatakan transaksi yang demikian itu tidak sah. Dalil yang menyatakan transaksi tersebut sah adalah pendapat Ibnu Abbas Radhiallahu‘anhu yang tidak mempermasalahkan hal tersebut. Selain itu, broker melakukan transaksi dengan harta orang tersebut dengan izinnya, sehingga kesepakatan pembagian keuntungan untuk broker pun sah seperti mudharib (pemilik modal) dan amil (pengelola modal) dalam akad al-musaqah” (al-Mughni 5/86).
– Komisi broker bisa berupa harta atau sesuatu yang bisa ditafsirkan sebagai harta seperti poin kredit atau manfaat (https://islamqa.info/ar/answers/237242/حكم-الهدية-المالية-التي-تتبع-بطاقة-بايونير-وحكم-جواىز-الشركات-لمن-يجلب-لها-عملاء).
Baca Juga: Hukum Jual Beli Dengan Uang Muka
Hal yang boleh dilakukan broker
– Jika broker bekerja untuk salah satu pihak yang bertransaksi dengan imbalan tertentu, maka ia tidak wajib memberitahukannya kepada pihak yang lain meski imbalan tersebut dibebankan ke dalam harga transaksi selama besarannya tidak mencolok (ziyadah fahisyah) yang menyebabkan kerugian.
Sebagai contoh, seorang berkata kepada temannya, ‘Juallah barang ini dengan harga Rp1.000.000,- dan komisimu sebesar Rp100.000,- dari harga tersebut.’ Jika ternyata barang itu di pasaran hanya seharga Rp900.000,-, broker tidak wajib memberitahukan besaran komisinya kepada pembeli selama ia menyetujui harga barang tersebut, serta tidak terdapat kecurangan dan penipuan.
– Sejumlah ahli fikih menegaskan bahwa upah broker berasal dari biaya yang dibebankan pada harga dalam transaksi murabahah yang berdasarkan pada amanah untuk menginformasikan harga transaksi. Tentu lebih layak hal itu diterapkan dalam hal upah broker yang dibebankan pada harga transaksi dalam transaksi jual-beli yang masih terjadi tawar-menawar harga, dimana tidak ada kewajiban untuk menginformasikan harga yang sebenarnya.
Al-Kasani Rahimahullah menerangkan jual-beli murabahah,
لَا بَأْسَ بِأَنْ يَلْحَقَ بِرَأْسِ الْمَالِ أُجْرَةُ الْقَصَّارِ وَالصَّبَّاغِ وَالْغَسَّالِ وَالْفَتَّالِ وَالْخَيَّاطِ وَالسِّمْسَارِ وَسَائِقِ الْغَنَمِ، وَالْكِرَاءُ، وَنَفَقَةُ الرَّقِيقِ مِنْ طَعَامِهِمْ وَكِسْوَتِهِمْ وَمَا لَا بُدَّ لَهُمْ مِنْهُ بِالْمَعْرُوفِ، وَعَلَفُ الدَّوَابِّ، وَيُبَاعُ مُرَابَحَةً وَتَوْلِيَةً عَلَى الْكُلِّ اعْتِبَارًا لِلْعُرْفِ؛ لِأَنَّ الْعَادَةَ فِيمَا بَيْنَ التُّجَّارِ أَنَّهُمْ يُلْحِقُونَ هَذِهِ الْمُؤَنَ بِرَأْسِ الْمَالِ وَيَعُدُّونَهَا مِنْهُ
“Tidak apa-apa jika upah orang yang memutihkan, orang yang mewarnai, orang yang mencuci, orang yang membuat tali, orang yang menjahit, orang yang menjadi perantara, orang yang menggembalakan kambing, harga sewa, ongkos yang dihabiskan untuk makan, pakaian, dan item lain yang diperlukan budak pekerja secara wajar, dan pakan hewan disertakan dalam modal suatu barang dan barang itu lalu dijual secara murabahah atau tauliyah dengan menyertakan semua upah di atas dengan mempertimbangkan aturan yang berlaku di masyarakat; karena kebiasaan yang dipraktikkan para pedagang adalah mereka menyertakan seluruh item tersebut ke dalam modal dan menganggapnya sebagai bagian dari modal” (Badai’ ash-Shanai’ 5/223).
– Boleh melakukan kegiatan brokerage untuk perusahaan asuransi tertentu jika suatu negara mewajibkan setiap warga negaranya memiliki asuransi. Namun, jika asuransi bersifat opsional alias tidak diwajibkan, maka tidak boleh melakukan kegiatan brokerage untuk perusahaan asuransi (https://islamqa.info/ar/answers/286248/حكم-العمل-وسيطا-بين-الناس-وشركة-التامين-للتربح-من-ذلك-وتخفيف-الاقساط-عليهم).
Hal yang haram dilakukan broker
– Jika broker bekerja kepada salah satu pihak yang bertransaksi, ia tidak boleh berkonspirasi dengan pihak lain untuk menambah atau mengurangi harga transaksi, karena hal itu termasuk penipuan dan pengkhianatan. Terlebih lagi jika broker diberikan tanggung jawab untuk melaksanakan transaksi (kontrak). Ia adalah wakil dalam kondisi tersebut. Wakil adalah orang yang diberikan kepecayaan, sehingga setiap keuntungan yang dihasilkan diberikan kepada orang yang menjadikannya sebagai wakil (https://islamqa.info/ar/answers/183100/مساىل-في-احكام-السمسار-والوسيط-التجاري).
Dalam Mathalib Uli an-Nuha dinyatakan,
وهبة بائعٍ لوكيلٍ اشترى منه، كنقصٍ من الثمن، فتُلحق بالعقد؛ لأنها لموكله
“Status hibah (pemberian) dari penjual yang diberikan kepada wakil yang membeli barang darinya seperti pengurangan harga, sehingga nilai hibah tersebut disertakan pada akad karena diperuntukkan bagi orang yang menjadikannya wakil.” (Mathalib Uli an-Nuha 3/132)
– Jika kewenangan broker terbatas pada kegiatan memandu penjual atau pembeli, tanpa diberi kewenangan untuk melaksanakan transaksi (akad); serta tidak ada harga spesifik yang ditetapkan bagi broker, tapi ia diminta untuk mencari harga yang terbaik –baik harga penjualan atau harga pembelian-, maka konspirasi yang dilakukannya bersama dengan selain pihak yang mempekerjakannya merupakan kecurangan dan pengkhianatan (https://islamqa.info/ar/answers/183100/مساىل-في-احكام-السمسار-والوسيط-التجاري).
– Setiap orang tidak boleh melakukan intervensi dalam pengadaan pemerintah (tender publik) agar ditetapkan bagi individu tertentu, baik ia bekerja di institusi yang mengusulkan pengadaan tersebut atau tidak. Hal ini termasuk kecurangan dan pengkhianatan. Harta yang diperoleh dari kegiatan tersebut adalah harta yang haram.
Jika pihak yang bertindak sebagai perantara memiliki kewenangan langsung dalam hal membentuk kesepakatan (semisal pejabat pengadaan atau yang semisal), maka hal ini lebih buruk dan lebih besar dosanya. Harta yang diperoleh merupakan suap (risywah) dan hadiah yang haram, baik kesepakatan dilaksanakan melalui tender atau penunjukan langsung. Oleh karena itu, ia tidak boleh dijadikan sebagai rekanan karena akan menghantarkan pada hal yang haram (https://islamqa.info/ar/answers/143143/الوساطة-في-المناقصات-والتعاميد).
– Setiap orang yang telah diinstruksikan untuk melakukan pekerjaan intinya, maka ia tidak berhak memperoleh komisi dari pihak lain atas pekerjaan tersebut. Apabila ia menerimanya, maka komisi itu merupakan hadiah yang haram bagi pegawai (https://islamqa.info/ar/answers/133975/كلف-من-قبل-عمله-شراء-منزل-فهل-له-حق-في-السعي-السمسرة).
– Jika perantara tidak mengadakan kesepakatan bersama pembeli atau penjual untuk menerima komisi; atau perantara berstatus sebagai pegawai perusahaan yang melakukan negosiasi, maka dia tidak boleh menerima komisi atas upaya mediasi yang dilakukannya, karena dalam kondisi ini ia menjadi wakil bagi pembeli sekaligus wakil bagi perusahaan tersebut (https://islamqa.info/ar/answers/183100/مساىل-في-احكام-السمسار-والوسيط-التجاري).
Apakah perantara berhak memperoleh komisi jika transaksi dibatalkan?
Dalam hal ini terdapat perincian:
– Jika pembatalan transaksi karena kesepakatan kedua belah pihak (penjual dan pembeli) secara sukarela, misalnya melalui iqalah, maka komisi bagi broker/perantara tidak gugur karena upah bagi broker sudah berstatus permanen dengan berakhirnya pekerjaan.
– Jika pembatalan transaksi dikarenakan adanya sebab kuat, seperti terdapat cacat pada barang atau ternyata barang merupakan hak milik orang lain, maka terdapat dua pendapat ahli fikih terkait kelayakan perantara memperoleh komisi.
Pendapat pertama: broker tidak berhak memperoleh upah. Hal ini merupakan pendapat Malikiyah dan Hanabilah. Alasannya karena transaksi jual-beli menjadi rusak, sehingga pekerjaan yang menjadi dasar bagi hak perantara untuk memperoleh komisi tidak terlaksana dengan sempurna.
Pendapat kedua: broker berhak memperoleh upah, kecuali jika ternyata transaksi (akad) tersebut pada dasarnya tidak dapat dilaksanakan, semisal barang tersebut merupakan objek wakaf atau yang semisal. Hal ini merupakan pendapat Hanafiyah. Alasannya karena upah merupakan kompensasi atas pekerjaan yang telah dilakukan broker dan dalam hal ini ia telah menuntaskan pekerjaannya sehingga berhak memperoleh upah.
Pendapat yang tepat dalam hal ini adalah pendapat pertama, karena upah bagi aktvitas brokerage merupakan kompensasi atas tercapainya transaksi jual-beli. Dalam hal ini, transaksi tersebut telah dibatalkan karena sebab yang ada sebelum terjadi transaksi (akad), sehingga transaksi jual-beli pun tak dapat terlaksana [Ahkam al-Wasathah at-Tijariyah hal. 395].
Syaikh as-Sa’di menyampaikan kaidah berharga dalam kasus ini. Beliau menuturkan,
القاعدة الثالثة والخمسون: إذا تبين فساد العقد، بطل ما بني عليه، وإن فسخ فسخا اختياريا، لم تبطل العقود الطارئة قبل الفسخ، وهذا ضابط وفرق لطيف
“Kaidah Ke-Limapuluh Tiga: Apabila suatu akad diketahui rusak, maka batallah dampak yang menjadi konsekuensi akad tersebut. Namun, jika akad tersebut dibatalkan secara sukarela, maka akad-akad yang terjadi sebelum pembatalan tersebut tidak ikut batal. Hal ini merupakan norma dan prinsip turunan yang detil” (al-Qawa’id wa al-Ushul al-Jami’ah hal. 105).
Dalam Mathalib Uli an-Nuha dinyatakan,
ومن أخذ شيئا بسبب عقد بيع ونحوه، كدلال وكيال ووزان، فقال ابن عقيل -رحمه الله- في النظريات: إن فسخ بيع بنحو إقالة، مما يقف على تراض من المتعاقدين، كشرط الخيار لهما، ثم يفسخان البيع: لم يرد المأخوذ؛ للزوم البيع.
وإلا يقف الفسخ على تراضيهما، كفسخ لعيب، يرد المأخوذ بسبب العقد؛ لأن البيع وقع مترددا بين اللزوم وعدمه
“Terkait orang yang menerima komisi dari akad jual-beli dan semisalnya seperti yang diterima oleh perantara, pengukur, dan penimbang, maka dalam an-Nazhariyat, Ibnu Aqil rahimahullah menyatakan, ‘Apabila jual-beli dibatalkan karena iqalah yang berpijak pada kerelaan dari kedua belah pihak yang bertransaksi, seperti memanfaatkan syarat khiyar yang menjadi hak mereka, kemudian mereka membatalkan jual-beli itu, maka komisi yang telah diterima tidak perlu dikembalikan karena jual-beli itu telah terlaksana. Akan tetapi, jika pembatalan tersebut tidak berpijak pada kerelaan kedua belah pihak semisal pembatalan diajukan karena diketahui terdapat cacat pada barang, maka komisi yang telah diterima dengan sebab akad tersebut harus dikembalikan, karena jual-beli tersebut tidak diketahui pasti apakah telah terlaksana atau tidak” (Mathalib Uli an-Nuha 5/215).
Jika komoditas yang diperjual-belikan diketahui memiliki cacat atau milik pihak lain; maka tanggung jawab dibebankan kepada siapa?
Ulama berselisih pendapat dalam hal ini. Sebagian ulama menyatakan tanggung jawab dibebankan pada penjual, bukan pada broker. Sebagian ulama yang lain menyatakan hal tersebut menjadi tanggung jawab broker. Sementara ulama yang lain menyatakan tanggung jawab menjadi beban broker jika ia mengetahui cacat tersebut.
Pendapat terpilih dalam hal ini adalah broker sama sekali tidak bertanggung-jawab kecuali terdapat kesepakatan dan aturan yang berlaku di masyarakat bahwa jika terdapat aib pada barang maka hal itu menjadi tanggung jawab perantara, seperti Pemerintah mempersyaratkan kepada broker untuk memastikan kepemilikan barang, ketiadaan cacat; atau broker tahu cacat tersebut dan kondisi riil barang, namun mereka menyesatkan pembeli” (Ahkam al-Wasathah at-Tijariyah hal. 279-282).
Dalam al-Mudawwanah disebutkan,
قيل لمالك -رحمه الله-: أفرأيت ما يستأجر الناس من النخاسين الذين يبيعون لهم الرقيق، ويجعلون لهم الجُعل على ما يبيعون من ذلك، والذين يبيعون المواريث، ومثل هؤلاء الذين يبيعون للناس، يجعل لهم في ذلك الجعل… فيوجد من ذلك شيء مسروق أو خرق أو عيب؟
قال: ليس على واحد من هؤلاء ضمان، وإنما هم أجراء، أجَّروا أنفسهم وأبدانهم، وإنما وقعت العهدة على أرباب السلع فليتبعوهم، فإن وجدوا أربابها، وإلا لم يكن على هؤلاء الذين وصفت لك تِباعة فيما باعوا
“Imam Malik rahimahullah pernah ditanya, ‘Bagaimana pendapat anda perihal pedagang budak yang disewa orang untuk menjualkan budak-budak. Kemudian mereka diberi upah atas hasil penjualan tersebut. Demikian pula dengan orang yang menjualkan warisan, dimana mereka semisal dengan sebelumnya yang membantu penjualan barang milik orang lain, mereka memperoleh upah atas pekerjaan tersebut…namun ternyata belakangan diketahui bahwa dari barang yang dijual itu terdapat hasil curian, kerusakan, atau cacat?’
Beliau menjawab, ‘Tidak satu pun dari mereka berkewajiban mengganti. Mereka hanyalah orang yang diberi upah. Orang mengupah aktivitas fisik mereka. Tanggung jawab menjadi kewajiban pemilik barang, maka hendaknya pembeli menuntut ganti rugi kepada mereka jika mereka mampu menemukannya. Jika tidak mampu ditemukan, perantara yang mendeskripsikan barang kepada anda tidak menanggung akibat terhadap barang yang mereka jual.” (al-Mudawwanah 3/370).
Alhamdulillah. Demikian yang dapat disampaikan. Semoga bermanfaat.
Baca Juga:
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel asli: https://muslim.or.id/66697-fikih-ringkas-seputar-profesi-broker-atau-makelar.html